Latar Belakang Program
Upaya memperkokoh supremasi hukum dan menegakkan Hak Asasi Manusia merupakan tema penting dalam penguatan demokrasi di Indonesia. Salah satu tujuan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Indonesia tahun 2005-2025 adalah “terciptanya supremasi hukum dan penegakan Hak Asasi Manusia yang bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 serta tertatanya sistem hukum nasional yang mencerminkan kebenaran, keadilan, akomodatif, dan aspiratif”. Sebagai perwujudan nyata dari komitmen penegakan dan kesadaran hukum, Pemerintah menetapkan beberapa kebijakan dan regulasi nasional seperti Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (SNAK), termasuk mainstreaming isu Hak Asasi Manusia lewat Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM), dan Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJMN) yang kemudian ditetapkan melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tiap tahunnya.
Berbagai reformasi struktural positif yang signifikan di bidang hukum dan keadilan telah terbangun dalam kurun waktu 21 tahun semenjak reformasi 1998, termasuk pemisahan lembaga peradilan dari pemerintah eksekutif, pengakuan atas berbagai Hak Asasi Manusia, dan juga dibentuknya lembaga pengawas baru dan khusus, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun, sektor ini tetap menghadapi sejumlah tantangan yang mengakibatkan rendahnya kepercayaan publik terhadap beberapa lembaga utama di sektor ini, seperti karena tidak dapat mengakses sistem hukum formal dikarenakan biaya, kurangnya mekanisme yang ramah dalam melaporkan keluhan, maupun pemberian layanan hukum yang berkualitas. Maka diperlukan strategi yang mampu mendorong adanya dukungan publik yang memadai, mampu menarik partisipasi dan sumberdaya masyarakat sipil dalam menjalankan reformasi yang positif di bidang hukum dan keadilan di Indonesia.
Pembangunan sektor hukum dan keadilan juga akan menciptakan lingkungan yang kondusif tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) dan akan berperan penting dalam mengurangi angka kemiskinan dan mendorong pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia. Pembangunan sektor hukum dan keadilan akan berkontribusi pada terbangunnya kepercayaan terhadap kapasitas lembaga-lembaga negara demi menjaga keamanan dan mengurangi penggunaan kekerasan dalam penyelesaian perselisihan. Disamping itu juga akan memfasilitasi kelompok rentan untuk menyampaikan keluhannya, mengurangi korupsi, dan menguatkan demokrasi dan mendukung pembangunan masyarakat sipil yang kuat dan majemuk.
LPSK memiliki tugas, fungsi yang khusus yakni memberikan perlindungan dan pemulihan kepada saksi dan/atau korban pada proses peradilan pidana. Perlindungan dan pemulihan terhadap mereka harus dilaksanakan mengingat begitu pentingnya posisi saksi korban dalam sistem hukum kita. Peran saksi dan korban sangat besar dalam mengungkap fakta terjadinya peristiwa tindak pidana. Namun demikian, tidak jarang mereka mengalami berbagai tindakan intimidasi, gangguan, ancaman, teror, bahkan tindakan kekerasan untuk menggagalkan atau menghalang-halangi mereka dalam memberikan kesaksian. Kondisi ini harus dihindari dengan memberikan perlindungan kepada saksi dan korban agar proses pengungkapan kebenaran terhadap suatu tindak kejahatan dapat dilaksanakan dengan baik.
Peran LPSK semakin berkembang dengan direvisinya UU Perlindungan Saksi dan Korban melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Perubahan UU ini telah memberikan mandat kepada LPSK untuk menyediakan layanan perlindungan kepada saksi dan korban tindak pidana terorisme, pelanggaran HAM yang berat, korupsi, pencucian uang, narkoba, perdagangan orang, kekerasan seksual terhadap anak, penyiksaan, penganiayaan berat, dan tindak pidana lain. Lingkup layanan LPSK mencakup perlindungan fisik, perlindungan hukum, pemenuhan hak prosedural, bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikologis dan psikososial, serta fasilitasi restitusi dan kompensasi.
Sejak didirikan, LPSK telah berperan dalam menyediakan layanan perlindungan saksi dan korban tindak pidana. Dalam rentang 2008- 2021 terdapat 16.119 permohonan perlindungan yang telah diterima oleh LPSK (rata-rata 1.206 permohonan/tahun). Sekitar 90% dari permohonan tersebut telah mendapat layanan perlindungan dari LPSK. Namun demikian, capaian ini dinilai masih jauh dari harapan jika dibandingkan dengan jumlah saksi dan korban kasus pidana di Indonesia yang diperkirakan mencapai 807.972 orang pada 2019.
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi LPSK dalam meningkatkan cakupan pelayanan masih sangat besar baik pada sisi demand site maupun pada sisi supply site, seperti : (a). Domisili saksi dan korban yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, sementara kantor LPSK hanya berada di 3 kota yaitu Jakarta, Medan dan Yogyakarta; (b). Saksi dan korban belum sepenuhnya memahami dan memiliki kapasitas untuk mengakses layanan perlindungan dari LPSK; (c). Prosedur penyediaan layanan perlindungan yang masih sentralistik dan sulit dipenuhi; (d). Dukungan sumber daya manusia dan anggaran yang belum memadai; dan (e). Peran serta masyarakat yang masih terbatas dalam mengedukasi dan memfasilitasi saksi dan korban untuk mengakses layanan perlindungan yang disediakan oleh LPSK.
Pengalaman panjang LPSK menunjukkan bahwa peran serta masyarakat sipil sangat dibutuhkan dalam mendukung peningkatan akses saksi dan korban terhadap layanan perlindungan dan pemulihan. Peran strategis masyarakat tersebut dapat berupa : (a). Penyadaran dan edukasi kepada masyarakat; (b). Fasilitasi akses saksi dan korban terhadap layanan perlindungan dan pemulihan; (c). Pendampingan saksi dan korban pada proses perkara pidana; dan (d). Fasilitasi penanganan kasus dengan pendekatan restoratif. Peran strategis tersebut sangat potensial untuk dilakukan secara masif karena keberadaan masyarakat sipil yang menaruh perhatian pada isu ini relatif banyak dan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Komitmen untuk meningkatkan peran serta masyarakat sipil dalam perlindungan saksi dan korban telah menjadi arah kebijakan dan strategi LPSK sebagaimana tertuang dalam Renstra LPSK 2020 – 2024. Komitmen tersebut tertuang dalam arah kebijakan kedua yang berbunyi : “Peningkatan akses layanan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan korban melalui peningkatan partisipasi masyarakat dan pemanfaatan teknologi informasi”. Kebijakan tersebut diimplementasikan melalui strategi (c) yaitu: “Menginisiasi terbentuknya kelompok masyarakat yang peduli terhadap hak-hak saksi dan korban demi meningkatkan akses dan partisipasi masyarakat”.
Disadari sepenuhnya bahwa penguatan peran serta masyarakat sipil dalam perlindungan saksi dan korban akan melalui proses yang panjang dan kompleks serta membutuhkan waktu yang lama. Untuk itu, LPSK telah mencanangkan Program Perlindungan Saksi dan Korban Berbasis Komunitas, sebagai suatu upaya konstruktif dan berkelanjutan untuk melibatkan masyarakat sipil dalam memfasilitasi kerja-kerja penyediaan pelayanan perlindungan kepada saksi dan korban.
Pelaksanaan Program Perlindungan Saksi dan Korban Berbasis Komunitas perlu didukung berbagai instrumen yang memungkinkan agar program dapat dilaksanakan secara tertib, terencana dan memiliki tata kelola yang baik. Untuk itu, maka perlu disiapkan Pedoman Umum Pengelolaan Program Perlindungan Saksi dan Korban Berbasis Komunitas. Dokumen ini akan menjadi dasar dan acuan bagi LPSK dan para pihak terkait dalam menyusun kebijakan, merencanakan kegiatan, mengendalikan pelaksanaan program serta mengevaluasi pelaksanaan program.