Sebarkan Semangat #KitaPeduli #KitaLindungi di Bumi Borneo
Generasi muda masa kini dikenal kreatif dan kerap melontarkan berbagai ide inovatif. Akan tetapi mereka ditengarai mudah lemah tatkala mendapatkan tekanan. Alhasil mereka enggan bekerja keras karena menyerah dengan semua tekanan. Mereka ini kemudian dilabeli sebagai Generasi Stroberi. Mungkin banyak yang bingung dan bertanya-tanya, kenapa stroberi?
Rhenald Kasali dalam bukunya, “Strowberry Generation”, menyebut generasi ini penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Gambaran kondisi ini dapat dilihat di berbagai platform media sosial. Banyak gagasan kreatif lahir dari anak-anak muda. Tapi, tak jarang banyak pula konten berisi keresahan yang menggambarkan suasana hati yang mereka rasakan.
Pemilihan buah stroberi untuk mengenali generasi ini dikarenakan buah stroberi tampak indah dan eksotis. Begitu dipijak atau ditekan ia akan mudah sekali hancur. Generasi Stroberi erat dilekatkan dengan mereka yang lahir setelah tahun 1980. Meski ada pula yang menyatakan, kondisi ini tidak bisa dilekatkan berdasarkan tahun kelahiran, melainkan ke semua orang yang memiliki tipikal bak stroberi.
Total populasi Generasi Stroberi yang lekat dengan GenZ atau yang lahir setelah 1980, melebihi 50 persen jumlah penduduk Indonesia saat ini. Dominasi mereka dalam populasi penduduk secara tidak langsung dapat menggambarkan ke arah mana bangsa ini ke depannya. Begitu mudahnya lemah menghadapi tekanan sosial, sedikit banyak dipengaruhi bagaimana karakter mereka dibentuk saat usia dini.
Pembentukan karakter memang harus dimulai dan dilakukan sejak usia dini. Maka dari itu, pembentukan karakter masuk menjadi salah satu tujuan pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lantas, siapa yang memiliki peranan besar dalam pembentukan karakter anak pada usian dini? Tiada lain orang tua.
Orang tua memiliki peranan besar dalam membentuk karakter anak. Jadi, tugas orang tua tidak sebatas mengasuh, tetapi juga harus mendidik, membimbing dan melindungi setiap perkembangan anak. Dalam pembentukan karakter, anak perlu keteladanan, perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu tidak bisa dilakukan secara instan.
Pembentukan karakter sejak usia dini bertujuan agar anak memiliki mental tangguh saat berhadapan dengan tantangan, perubahan dan situasi di masa mendatang. Pengembangan karakter dalam pendidikan anak usia dini dapat diketahui dari perilaku pada aktivitas sehari-hari, seperti kesabaran, kesadaran, kejujuran, keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, kepedulian, kebebasan dalam bertindak, kecermatan, komitmen, mematuhi peraturan dan menghargai hak dan kewajiban.
Kepedulian merupakan satu dari sekian tolok ukur dari pengembangan karakter anak. Peduli merupakan nilai dasar dan sikap memerhatikan dan bertindak proaktif terhadap kondisi atau keadaan di sekitar. Secara lebih luas peduli sebagai sikap keberpihakan diri seseorang terhadap persoalan atau masalah yang ada di lingkungan sekitar. Kepedulian dapat diwujukan dengan membantu dan menolong orang dengan berbagi materi, atau diimplementasikan dalam bentuk immateri seperti kasih sayang maupun menolong sesama.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan kegiatan prioritas nasionalnya bertajuk, “Perlindungan Saksi dan Korban Berbasis Komunitas”, melihat pentingnya menanamkan kepedulian sejak usia dini. Meski kegiatan prioritas nasional yang diwujudkan dengan terbentuknya Sahabat Saksi dan Korban (SSK), dimana sebagian besar relawan dalam komunitas ini berusia dewasa, tim pengelola program tetap merasa penting melibatkan anak-anak dalam kampanye program dengan tagline, #kitapeduli #kitalindungi #kalaubukankitasiapalagi ini.
Mewarnai akhirnya dipilih sebagai “pintu masuk’ tim pengelola program untuk melibatkan anak dalam program perlindungan saksi dan korban berbasis komunitas. Pada sosialisasi program di wilayah Kalimantan Barat pada 19-23 Mei 2023 lalu, lomba mewarnai anak bertemakan “Sahabat”, dipilih sebagai salah satu rangkaian kegiatan sosialisasi di Kota Khatulistiwa itu, selain aktivitas lain mulai grafitti, live painting, sharing discussion dan weekend berkendara bersama komunitas lokal di Pontianak. Puncaknya, tentu saja gelaran Sarasehan Budaya: Sosialisasi Program Perlindungan Saksi dan Korban Berbasis Komunitas wilayah Kalimantan Barat.
Dalam penyebaran semangat kepedulian terutama yang menyasar anak-anak, pertanyaan yang muncul kemudian, kenapa mewarnai? Aktivitas ini dinilai sebagai paduan yang pas mengasah kreatifitas dan menyisipkan karakter “peduli” terhadap sesama di kalangan anak.
Dari kegiatan mewarnai inilah, dapat dilihat orientasi anak terhadap sesuatu yang sangat berhubungan dengan pikiran atau kejadian yang dialami sebelumnya. Jika rekam pikiran anak masih dalam kondisi positif, hal akan tergambar dari hasil mewarnai dengan pilihan-pilihan warna tertentu. Sebaliknya, jika terdapat trauma pada anak juga bisa terdeteksi atau terlihat dari hasil karyanya.
Salah satu bentuk trauma yang berdampak buruk terhadap pertumbuhan anak, fisik maupun psikis mereka adalah kekerasan. Masalah kekerasan dalam lingkup rumah tanggap ini diatur dalam hukum positif melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam undang-undang ini, KDRT dijelaskan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga.
Jika kekerasan itu dilakukan terhadap anak, ada undang-undang yang mengaturnya secara khusus dengan ancaman pidana yang jauh lebih berat. Beberapa dampak kekerasan pada anak antara lain berpengaruh pada kesehatan fisik, kesehatan mental, dibayangin trauma masa kecil, gangguan perkembangan otak, sulit bersosialisasi hingga memiliki masalah dalam berperilaku.
Kekerasan terhadap anak baik fisik maupun seksual merupakan satu dari beberapa tindak pidana tertentu yang mendapatkan prioritas perlindungan LPSK. Khususnya pada kasus kekerasan seksual, menjadi kasus yang tergolong tinggi angka pengajuan permohonannya ke LPSK. Apalagi, sejak lahirnya Undang-Undang No, 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, korban dinyatakan secara tegas berhak atas restitusi atau ganti kerugian dari pelaku, angka permohonan perlindungan dari jenis tindak pidana ini terus mengalir dari penjuru negeri. Ini disebabkan LPSK menjadi pihak yang diberikan kewenangan melakukan perhitungan restitusi.
Untuk menjawab semakin tingginya kepercayaan publik terhadap kerja perlindungan LPSK, inovasi kelembagaan menjadi keniscayaan. Gayung bersambut. Sejak 2022, LPSK menjalankan kegiatan prioritas nasional, “Perlindungan Saksi dan Korban Berbasis Komunitas”. Tahun lalu sebagai fase inisiasi, LPSK telah membentuk komunitas SSK di tujuh provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung. Sedangkan tahun 2023 ini, LPSK berencana kembali mengembangkannya di Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Utara dan Sumatera Barat.
Harapannya dengan masifnya kelompok masyarakat yang peduli dan mau melindungi orang di sekitarnya, mereka yang rentan serta berstatus saksi dan korban bisa difasilitasi dalam mengakses keadilan. Sebab, relawan dalam komunitas Sahabat Saksi dan Korban ini sangat beragam dan tidak melihat latar belakang tertentu. Yang jelas, semua anggota komunitas bergabung dengan satu semangat yang sama, yaitu #kitapeduli #kitalindungi. Kalau bukan kita, siapa lagi.
Fakhrur Haqiqi, S.H., M.I.Kom.
Pranata Humas Ahli Muda LPSK/
Koordinator bidang Diseminasi Informasi dan Diklat Program Perlindungan Saksi dan Korban Berbasis Komunitas