RELAWAN PENJEMPUT JENAZAH PMI NON PROSEDURAL : TAK KENAL SARA, KAMI JEMPUT MEREKA WALAU TIDAK ADA KELUARGA YANG DATANG.

RELAWAN PENJEMPUT JENAZAH PMI NON PROSEDURAL : TAK KENAL SARA, KAMI  JEMPUT MEREKA WALAU TIDAK ADA KELUARGA YANG DATANG.

Jakarta – Jalan panjang penuh kesunyian, mungkin kalimat yang tepat dalam menggambarkan permasalahan yang kini dirasakan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Bagaikan gunung es, setumpuk permasalahan yang dirasakan tidak pernah terselesaikan, sangat menyiksa, hingga mampu melahirkan petaka yang tidak pernah berhenti, bahkan ketika tubuh sudah tak bernyawa sekalipun.

Menjadi relawan penjemput jenazah mungkin bukan hal yang umum dilakukan masyarakat perkotaan. Namun, di daerah pesisir Indonesia timur, tugas ini sudah menjadi hal yang lumrah. Gerakan relawan ini lahir dari permasalahan sosial yang terjadi diakibatkan maraknya masyarakat terjerat kejahatan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di daerah (NTT khususnya).

Salah satunya Iskandar, seorang sukarelawan yang membantu mendampingi jenazah PMI Non Prosedural sekaligus juga Sahabat Saksi dan Korban Wilayah Nusa Tenggara Timur. Ia menjabarkan pengalaman dirinya selama mendampingi PMI Non Prosedural yang terindikasi menjadi korban TPPO sejak 2020 silam.

Ia menceritakan bagaimana gerakan relawan yang digagas oleh jaringan kaum muda, para suster, dan pendeta  berawal dari suatu panggilan hati nurani atas rasa kemanusiaan yang tergugah nyaris tanpa embel-embel keuntungan pribadi. Mereka membantu mendampingi para PMI ilegal yang dipulangkan (deportasi) baik dalam keadaan hidup maupun sudah tak bernyawa.

“Bagi kami, yang di kargo (peti jenazah) itu, kami menganggap mereka yang datang adalah keluarga kami. Jadi entah dapat uang atau tidak, mau capek atau tidak itu sudah jadi kewajiban kami (mengantarkan).” Kata Iskandar menceritakan pandanganya saat tergerak menjadi relawan.

Dalam pengalamannya, Iskandar dan teman-teman relawan sering kali menemukan kendala dan tantangan ketika pendampingan. Hal itu meliputi sulitnya mendapat akses informasi, intimidasi/penghalang-halangan hingga kesulitan dana sampai harus merogoh lebih dalam kantong pribadi untuk membantu mengurusi jenazah yang bermasalah.

Bukan itu saja, tak jarang kegiatan penjemputan dan pengurusan jenazah mendapatkan komentar negatif dari masyarakat yang belum teredukasi tentang kejahatan TTPO. Hal itu  berujung pada pandangan skeptis baik kepada para relawan maupun korban itu sendiri.

“kami (pernah) diminta untuk mendoakan jenazah, karena keluarganya satupun tidak ada yang datang menjemputnya, ditambah lagi keluarga di Kupang juga tidak mau menerima (jenazah PMI Non Prosedural).”

“ya kata mereka, mereka bekerja ya itu resiko mereka.”

Komentar miring dan ketidakpahaman masyarakat mengenai bahaya TTPO ini merupakan tanggung jawab bersama yang harus diatasi dengan kesadaran kolektif. Melalui penyadaran dan transfer informasi dengan cara mensosialisasikan ke masyarakat hingga pemerintah daerah tentang bahaya tindak pidana perdagangan orang dan sangat beresikonya menjadi pekerja migran Indonesia dengan jalur ilegal.

Menurut data yang dimiliki Lembaga Perlindungan Sahabat Saksi dan Korban (LPSK) jumlah terlindung TTPO terdapat sebanyak 252 orang dalam renggang waktu tahun 2022 saja, namun itu hanyalah korban yang berhasil mendapatkan perlindungan LPSK. Iskandar menerangkan banyak korban TTPO yang telah meninggal tidak dapat di jangkau karena minimnya informasi dan ketidakpastiaan hukum karena statusnya sebagai pekerja migran Non Prosedural.

Bukan tanpa resiko pula, aktivitas membantu mendampingi PMI Non Prosedural yang menjadi Korban TTPO kerap mendapatkan intimidasi bahkan sulit mengakses informasi hingga ancaman.

“Kami sering mendapati penyusup ada di dalam grup kami, ada dalam jurnalis (gelap), ada dalam petugas bandara. Jadi bentuk (gangguan) yang kami dapati kadang tidak diberi data, kadang Instagram kita di-hack nomor kita di terror. Banyak hal yang kami dapat.”

“Kadang ada teman-teman yang dituduh soal makan uang, kami dituduh soal jual jenazah” terangnya.

Namun, Iskandar dan jaringan masyarakat yang peduli menyebut hal itu bukan menjadi penghalang dalam melakukan aktivitas pendampingan. Ia dan para relawan lainnya percaya apa yang mereka lakukan untuk saling membantu dan melindungi sesama atas nama kemanusiaan.

Iskandar berharap adanya kesadaran bersama atas permasalahan mendasar mengenai tiga faktor yang mendorong mudahnya tindak pidana perdagangan orang bisa lahir subur di Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu budaya, ekonomi dan sumber daya manusia.

Maka hal itu dapat diatasi dengan kerja kolaboratif dan tanggung jawab bersama dari tingkatan grassroots hingga pusat dalam memperbaiki dan penyadaran lewat kerja nyata. Banyak hal yang dapat dilakukan antara lain melakukan sosialisasi bahayanya tindak pidana perdagangan orang (TTPO), membuka lapangan pekerjaan, memperbaiki kebijakan di desa, melakukan pemerataan ekonomi yang diharapkan bisa dilakukan secara masif oleh seluruh masyarakat termasuk lembaga negara dan swasta.

 

(RMA)

Berita Terkait

KorWil-1

KorWil-1
6281119237025

KorWil-2

KorWil-2
6281119237025